Menilai Kwalitas Iman
Al Imam Ibnul Jawzi dalam salah 1
pesannya beliau berkata, "Kwalitas iman kita tidak dilihat ketika kita
sedang sholat, ketika sedang baca Alquran, atau ibadah2 lainnya. Namun
kwalitas iman akan terlihat ketika gelombang cobaan dan musibah menerpa
kehidupan kita." Allah menjadikan kehidupan dunia sebagai ujian, sejak Adam -alaihis salam- diturunkan di muka bumi, Allah jadikan segala apa yg ada di dunia ini, baik-buruknya sebagai ujian.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [QS. Al Anbiya': 35]
Cobaan yg Allah turunkan ada 2 jenis, yg pertama berupa syariah yg diturunkannya. Allah jadikan ini sebagai ujian, apakah kita mau tunduk dan menjalankannya dg penuh ikhlas, dg menghilangkan segala kepentingan2 kita, dan lebih mendahulukan ridha Allah dan RasulNya melebihi ego, syahwat, dan emosi kita.
Kedua, ujian berupa takdir. Gelombang ujian kehidupan yg menimpa perjalanan kehidupan seorang hamba.
Cara selamat dan lulus dalam menghadapi ujian2 ini adalah dg memilih Allah, mendahulukan ridhaNya dalam syariahNya, dalam Alquran & Assunnah. Dengan penuh yakin, bahwa ketetapan dan pilihan Allah bagi dirinya di kehidupan ini adalah baik. Walaupun di dalam menjalaninya, dia merasa bahwa dirinya hancur lebur dalam gulungan takdir Allah tsb. Tidak masalah, asalkan dia lebur dalam tunduk kepada Allah -subhanahu wa ta'ala-.
Inilah hikmah di balik musibah yg menimpa kehidupan Para Nabi dan orang2 shalih. Seseorang diuji oleh Allah berdasar kadar iman seseorang.
Kita membaca, bagaimana ujian kepada Nabi Ibrahim 'alaihis salam, ketika diperintah oleh Allah utk meninggalkan istrinya di suatu lembah, tanpa teman & bekal secukupnya. Terlihat jelas betapa bersinarnya iman pasangan suami istri ini, tatkala Hajar berkata kepada suami yg shaleh ini, "Jika Allah yg memerintahkanmu utk meninggalkanku di lembah ini, pergilah! Allah tidak akan menyia-nyiakan kami!!"
Tidak sampai situ, setelah sekian tahun dia meninggalkan istri & anaknya, Ibrahim diperintahkan oleh Allah utk menemui mereka dg membawa perintah utk menyembelih anaknya!! Tidak terbayang bagaimana keluarga ini menghadapi hari itu. Seorang ibu yg menyiapkan bekal bagi suami dan anaknya, dg penuh keyakinan bahwa suaminya akan kembali sendiri tanpa anaknya.
Maka tidak heran, jk keluarga ini selalu teriring dan disebut di dalam sholawat2 kita.
Terpaan gelombang panas syariah & takdirNya dijalani dengan penuh ridha oleh sang khalil. Dengan penuh keyakinan, jika dia lebih memilih berada di haribaan Allah, Allah akan memenangkannya di kehidupan ini.
Allah sampaikan dlm firmanNya:
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ
الْقَرْحُ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ
(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. [Qs. ali Imran: 172]
Terluka dalam taat kepada Allah dan RasulNya adalah lebih baik daripada di dalam gelimang nikmat dunia namun jauh dari ridhaNya.
Inilah makna dari ucapan kita di pagi & sore hari, "radhitu billahi robban, wabil islami diinan, wabi muhammadin rasulan" ("Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai nabiku"). Sebuah kalimat yg mudah diucapkan lisan, namun betapa banyak yg berguguran ketika ujian datang menuntut konsekuensi dari kalimat ini, sebagaimana yg telah disampaikan oleh al Imam Ibnul Qoyyim al Jauziyah.
wallahul musta'an,,
Sumber : Ustadz Ali Hasan Bawazier
